Home » » Orangtua justru jadi penghalang anak bersekolah

Orangtua justru jadi penghalang anak bersekolah



Oman Setiawan pernah mempunyai pengalaman hidup nyaris sama juga dengan anak-anak disana. Tinggal di lokasi Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, dia saat ini jadi staf pengajar di Sekolah Basic (SD) Dinamika Indonesia, sekolah spesial untuk anak-anak pemulung. Oman adalah alumni sekolahan itu.

Dia tak dapat terlepas dari histori sekolah itu. Oleh karenanya dia terasa terpanggil serta mempunyai tanggung jawab sosial untuk turut andil disana. " Sebenarnya anak-anak di lokasi TPST mempunyai semangat tinggi buat sekolah. Namun halangannya, yah dari orang tuanya sendiri, " kata Oman pada merdeka. com di pelataran sekolah, minggu lantas.

Mulai sejak keluarganya mengambil keputusan tinggal di lokasi TPST, Oman kecil meneruskan sekolah di Sekolah Basic (SD) Bintang Pancasila--sekarang Dinamika Indonesia. Dia masuk disana meneruskan kelas empat sekolah basic.

Menurutnya, orang-tua siswa yang disebut beberapa pemulung malah jadi kendala untuk murid untuk dapat mengenyam pendidikan resmi. Walau sebenarnya sekolah inklusif itu tidak ada pungutan cost apa pun untuk bersekolah. Tetapi, pandangan orang-tua dengan latar pendidikan rendah berasumsi sekolah cuma menghamburkan duit.

 " Nyaris 95 % orangtuanya yaitu pemulung. Mereka masih tetap tampak takut bayar ini bayar itu, " tutur Oman.

Walau sebenarnya di sekolah itu untuk cost administrasi lebih leluasa. Tetapi beberapa orang-tua seperti berasumsi hal semacam itu berat. Di segi lain, rata-rata pemulung disana adalah warga pendatang. " Namun bila di sekolah yang utama anaknya sekolah saja dulu, buat administrasi masih tetap dapat menyusul, " tuturnya.

Dedikasi Oman tidak cuma hingga di situ. Terkecuali mengajar dia juga bertugas juga sebagai social worker. Saban Minggu dia berkeliling ke ruang dengan luas 108 hektare itu untuk mencari anak-anak putus sekolah yang lain. Pekerjaan lain yaitu berkunjung ke keluarga murid yang dinilai sudah menghilang lantaran tak masuk sekolah berhari-hari.

 " Ada banyak anak-anak disini. Satu sekolah kita saja hanya dapat tutup 20 % dari anak-anak di seputar lokasi ini, " tutur Oman. Karenanya pekerjaan 'menjemput bola' disematkan pada dianya yang telah mengetahui lokasi TPST ini.

Ditempat sama, staff pengajar yang lain, Hendry mengakui ada banyak sebagian kekurangan buat beberapa guru pengajar. Sebagian mata pelajaran spesial masih tetap di ajarkan guru yang sama. Seperti olah raga atau Bhs Inggris. " Kita kelihatannya masih tetap kekurangan tenaga pengajar, " tuturnya.

Sesudah lulus, murid SD Dinamika Indonesia umumnya disalurkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di sekitaran Bantar Gebang. Terdaftar alumni di sekolah pemulung itu memiliki tingkat kelulusan hingga 100 %.

 " Anak-anak disini 85 % masuk SMP Negeri. Indeks rata-rata kelulusan hingga masuk juga sebagai lima besar se-kecamatan, " katanya.

Permasalahan lain yang dihadapi anak-anak yaitu stigma sosial. Sesudah lulus umpamanya, atau ketika berkegiatan dengan sesama sekolah basic yang lain, mereka diejek juga sebagai anak pemulung. Tetapi, beberapa guru menanamkan pengertian ; jadi anak pemulung mesti semakin berprestasi dibanding murid sekolah umum yang lain.

 " Terdapat banyak katakan sesudah masuk SMP mereka disebut anak-anak pemulung. Namun menurut saya, mereka dapat menangani ejekan ejekan seperti itu, " katanya.

Dia meneruskan, jadi pengajar di sekolah itu cukup bermodalkan ikhlas. Lantaran dengan cara pendapatan beberapa pengajar masih tetap diberikan honor jauh dari kata cukup. Dia sendiri dulu pernah turut jadi pemulung saat sebelum konsentrasi penuh mengajar di sekolah itu. " Saya juga jadi pemulung mas, namun telah lama saya berhenti sesudah dibuatkan rumah dinas di ruang sekolah, " tuturnya.

Dari data Kementerian Tenaga Kerja serta Transmigrasi (Kemenakertrans), jumlah komune pemulung di Bantar Gebang sekarang ini diprediksikan 1. 568 Kepala Keluarga (KK) atau seputar 5. 000 jiwa yang menyebar di empat desa : mencakup Ciketing Udik (407 KK), Sumur Batu (390 kk), Cikiwul (496 kk) serta Serang (275 KK).

Mereka teridentifikasi juga sebagai warga pendatang yang datang dari Jawa
Barat (Indramayu), Jawa Tengah (Semarang) serta Jawa Timur (Madura).

0 komentar:

Posting Komentar